Manusia dan
Kehendak Berkuasa Menurut Friedrich Nietzsche
Friedrich
Nietzsche adalah seorang filsuf Jerman di akhir abad ke-19, dan dikenal sebagai
seorang pemikir yang melakukan serangan terhadap Kristianitas dan moralitas
tradisional di Eropa pada jamannya. Fokus filsafatnya adalah pengembangan diri
manusia semaksimal mungkin, dan analisis kebudayaan di jamannya. Ia menekankan
sikap menerima dan merayakan kehidupan, kreativitas, kekuasaan, segala
kontradiksi, serta absurditas hidup manusia. Ia menolak untuk mengakui adanya
dunia lain di luar dunia ini.
Beragam
bidang kehidupan mulai dari arsistektur, metodologi penelitian ilmiah,
filsafat, seni, sampai dengan fashion mengambil inspirasi dari ide-idenya yang
kreatif dan mencerahkan. Percikan-percikan pemikirannya selalu terasa segar,
baru, dan inspiratif. Di dalam bidang psikologi, Nietzsche berpetualang
mengangkat aspek-aspek hewani dan ketidaksadaran manusia, yang kemudian
memberikan inspirasi bagi Freud untuk mengembangkan psikoanalisisnya. Tak jarang
pula pemikiran-pemikiran Nietzsche digunakan untuk membenarkan hal-hal kejam,
seperti perang, penaklukan, diskriminasi, seperti yang dilakukan oleh NAZI
Jerman dan partai fasis Italia.
Walaupun
hidup sakit-sakitan, Nietzsche tetap mampu menulis dengan amat baik dan kreatif
selama bertahun-tahun di masa hidupnya. Rasa sakit tubuh pun terus datang dan
pergi. Ini semua menggambarkan kekuatan mental yang ia miliki di dalam berpikir
dan mencipta. Bahkan menurut saya rasa sakit dan penderitaan itulah yang menjadi
sumber inspirasi dari tulisan-tulisan filsafatnya. Dari rasa sakit dan
ketabahannya, ia menuliskan gagasan-gagasan pencerahan yang mempengaruhi
peradaban manusia, sampai sekarang ini.
Konsep
kehendak untuk berkuasa adalah salah satu konsep yang paling banyak menarik
perhatian dari pemikiran Nietzsche. Dengan konsep ini ia bisa dikategorikan
sebagai seorang pemikir naturalistik (naturalistic thinker), yakni yang melihat
manusia tidak lebih dari sekedar insting-insting alamiahnya (natural instincts)
yang mirip dengan hewan, maupun mahluk hidup lainnya. Nietzsche dengan jelas
menyatakan penolakannya pada berbagai konsep filsafat tradisional, seperti
kehendak bebas (free will), substansi (substance), kesatuan, jiwa, dan
sebagainya. Ia mengajak kita memandang diri kita sendiri sebagai manusia dengan
cara-cara baru.
Sebagaimana
dicatat oleh Porter, ada tiga konsep dasar yang mewarnai seluruh pemikiran
Nietzsche, yakni penerimaan total pada kontradiksi hidup (1), proses
transendensi insting-insting alamiah manusia (2), dan cara memandang realitas
yang menyeluruh (wholism) (3). Pemikiran tentang kehendak untuk berkuasa
terselip serta tersebar di dalam tulisan-tulisannya sebagai fragmen-fragmen
yang terpecah, dan seolah tak punya hubungan yang cukup jelas. Dari semua
fragmen tersebut, menurut Porter, setidaknya ada tiga pengertian dasar tentang
kehendak untuk berkuasa, yakni kehendak untuk berkuasa sebagai abstraksi dari
realitas (1), sebagai aspek terdalam sekaligus tertinggi dari realitas (the
nature of reality) (2), dan sebagai realitas itu sendiri apa adanya (reality as
such) (3).
Ketiga makna
itu bisa disingkat dalam rumusan berikut, sebagai hakekat terdalam dari alam
semesta beserta dengan geraknya yang dilihat dari sisinya yang paling gelap.
Dalam bahasa Nietzsche kehendak untuk berkuasa adalah “klaim kekuasaan yang
paling tiranik, tak punya pertimbangan, dan tak dapat dihancurkan.” Bisa
dikatakan ketika berbicara tentang kehendak untuk berkuasa, Nietzsche berubah
menjadi seorang filsuf monistik, yang melihat realitas tersusun dari satu unsur
terdalam (fundamental aspect) yang menentukan segalanya. Unsur terdalam itulah
yang disebutnya sebagai kehendak untuk berkuasa.
“Jika tubuh
ini hidup dan tidak mati, tubuh ini tetap harus memperlakukan tubuh-tubuh lain
sama seperti ia memperlakukan tubuhnya sendiri. Tubuh itu sendiri tetap
merupakan pembadanan dari kehendak untuk berkuasa, tubuh itu akan ingin tumbuh,
menyebar, memegang, memenangkan dominasi – bukan karena soal moralitas atau
imoralitas, melainkan karena tubuh itu hidup, dan karena hidup itu sendiri
adalah kehendak untuk berkuasa.”
Kehendak
untuk berkuasa adalah dorongan yang mempengaruhi sekaligus membentuk apapun
yang ada, sekaligus merupakan hasil dari semua proses-proses realitas itu
sendiri. Semua ini terjadi tanpa ada satu sosok yang disebut sebagai pencipta,
atau subyek agung. Semua ini adalah gerak realitas itu sendiri yang berjalan
mekanis, tanpa pencipta dan tanpa arah.
Bagi
Nietzsche dunia adalah sesuatu yang hampa. Dunia tak memiliki pencipta, namun
bisa hadir dan berkembang dengan kekuatannya sendiri. Di dalam dunia semacam
ini, tidak ada pengetahuan obyektif. Yang diperlukan untuk memperoleh
pengetahuan adalah subyektivitas (subjectivity) dan kemampuan untuk menafsir
(interpretation). Dua hal ini menurut Nietzsche lahir dari kehendak untuk
berkuasa itu sendiri.
Dengan
subyektivitas dan kemampuan untuk menafsir, manusia bisa melihat hubungan sebab
akibat (causality) di dalam dunia. Dengan dua kemampuan ini, manusia bisa
menempatkan diri, sekaligus menempatkan benda-benda yang ada di dalam dunia
pada tempat yang semestinya. Kehendak untuk berkuasa mendorong manusia untuk
menjadi subyek yang aktif di dalam menjalani hidup, sekaligus menjadi penafsir
dunia yang memberi makna (meaning) atasnya. Dengan kehendak untuk berkuasa,
manusia bisa menciptakan dan menata dunia. Dalam arti ini dunia adalah tempat
yang bukan-manusia (inhuman). Dunia menjadi bermakna karena manusia, dengan
subyektivitas serta kemampuannya menafsir, memberinya makna, dan menjadikannya
“manusiawi” (human).
Nietzsche
terkenal sebagai filsuf yang melihat dunia secara positif. Ia menyarankan
supaya kita memeluk dunia, dengan segala aspeknya, dan merayakan kehidupan.
Dunia dan kehidupan adalah suatu permainan yang tidak memiliki kebenaran, tidak
memiliki awal, serta selalu terbuka untuk dimaknai dan ditafsirkan. Dunia
bukanlah melulu milik manusia untuk dikuasai dan digunakan, melainkan memiliki
nilai pada dirinya sendiri. Dengan kata lain dunia memiliki nilai kosmik, dan
tak semata antropomorfik. Manusia harus belajar melihat alam tidak melulu dari
kaca matanya sendiri, tetapi juga dari kaca mata alam itu sendiri. Dari kaca
mata alam, kehidupan ini sendiri adalah kehendak untuk berkuasa. Maka kehendak
berkuasa adalah “afirmasi yang penuh suka cita pada hidup itu sendiri.” Hidup
memang tak bertujuan dan tak memiliki nilai. Namun manusia diminta untuk
menerima dan merayakannya sepenuh hati.
Daftar Pustaka
Dalam Roy Jackson ( Frederich Nietzsche) ( Nietzsche a beginner’s guide”
hodder&stoughton London 2001
Komentar
Posting Komentar